Wednesday, December 24, 2008

Orang Pertama


gadis kecil itu berjalan di antara dingin

pepohon yang menggigil dan tubuh-tubuh

tergesa orang yang berlalu-lalang sepanjang

tepi pertokoan


di angkasa

sepasang bintang mengerjapkan cahaya


rambutnya berayun seperti lonceng gereja

yang tak lelah berdentang-dentang seharian


ia melewati

patung santa yang tertawa

di bawah lampu-lampu aneka warna


tangannya menggenggam sepotong sajak sederhana

untuk Tuhan

yang akan ia baca di dalam gereja

tepat tengah malam


lalu hujan datang

seperti jarum-jarum panjang yang menikam


sajaknya basah

tintanya mengabur

tapi semangatnya tak kendur


di angkasa

awan menatapnya iba

tak mampu membendung hujannya


gadis itu terus berlari

menuju gereja


tepat tengah malam

ia membaca sajaknya

dalam gigil yang menjadi-jadi

dalam basah yang seperti tak peduli


: Tuhan, bilang pada orang tuaku

aku mau jadi orang pertama

yang mengucapkan Selamat Natal

kepada mereka di sana

Kesa


aku menangkap raungmu pada curah air yang terjun

dari mata berbatu peristiwa curam nan basah mengalir
ke dalam garis umurku seperti nadi bercabang-cabang
menjulur ke sekujur sajakku yang menelusup
ke dalam ruang tidurmu


aku menunggumu mematahkan sendiri topeng kayu
yang kau pahat dengan irama tangan sendu
penuh kenangan yang lalu kau kubur jauh-jauh
sebelum dihempas angin waktu
dan dadamu bergetar dahsyat demi menjaga hati agar kuat


aku bertarung dengan sunyi untuk memahami butiran bening
yang leleh di pipimu yang tak pernah kau tahu menjadi kekal
di hutan-hutan kesedihanku tiap kurindu padamu seperti embun
menguap tak bersyarat dan kembali setiap pagi-pagi sekali
ketika mimpiku berlari mengejar langkah matahari

di langit ingatanku kulukis wajahmu agar
kau tahu betapa ngilu ingin kunyatakan cintaku padamu

Tuesday, December 23, 2008

Sebelum Natal


dalam sunyi malam
tiga orang Majus

lirih angin menyapu
langkah kuda
hadiah persembahan
mur, wewangi, emas

diluar Betlehem
pintu-pintu tertutup

mimpi itu berjalan
dipandu bintang raksasa
menuju palungan
kandang domba
dan gembala yang berjaga-jaga


Monday, December 15, 2008

Aku Tak Mau Sia-sia


Setiap hari kutulis
barisan lirik
serpih perjalanan
yang bertaburan di halaman kenyataan
mimpi adalah bunga bermekaran
sering terabaikan

Dengan isak tertahan
dan selembar tissue waktu
selalu kuambil langit yang gugur
ke laut lepas

Aku tak mau sia-sia
hingga sekedip kelopak mata pun
atau helai rambut jatuh
dan lenguh domba di pembantaian
kuabadikan dalam catatan

Tak mau sia-sia

Barisan lirikku yang bubar
doa-doa tak terkabul
dilarung laut lepas

bebas.

Friday, December 12, 2008

kan ?



kan kau lihat sendiri

porak porandanya aku
berkejaran dengan waktu


(tapi kau tak melihatku kan?)



kan kau tahu
mana arah mata anginku
kemana aku menuju


(tapi kau tak tahu arahku kan?)




kan kau paham
betapa aku berulang bilang
apa saja yang kubutuhkan


(tapi kau tak paham butuhku kan?)






aku lihat
aku tahu
aku paham




tapi









kan ?

Dini Hari Ketika Bulan Meremang


suami menuju dermaga angkasa

dengan sayap terkuak membuka
(dini hari ketika bulan meremang)

tangis anaknya samar di telinga
seperti sajak pada sebuah kertas
tertiup angin, menggeret jalan
tak berdaya

dengan gemetar diingatnya wajah istri
kekuatan diam dari raut pasi
jarak tak teraba antara mereka
bak menatap gambar ke dalam pigura

aku (tak mau) sudah pergi
aku ingin (masih ada) di sini

Tuhan memanggilku pulang
Kalian memanggilku datang

pada cinta mana harus kuberi seluruh mati nyawa

sedang nyanyianku belum selesai
semesta menutup seluruh panggung ini
memintaku mengakhiri

meski bulan mencatat seluruh puisi hati
memendarkannya di malam-malam sepi
di atas harum rambut kalian yang kini sendiri

aku (tak mau) sudah pergi
aku ingin (masih ada) di sini

air mataku jatuh mengambang
dini hari ketika bulan meremang

Wednesday, December 10, 2008

Harus Ada


harus ada yang tabah

agar air mata, hela nafas, derik ranjang gelisah,
rasa yang mengapung di pelupuk kalbu, menjelma pilar baja
bagi bangunan hati yang terguncang badai


harus ada yang tak peduli
agar kebal terhadap sakit diri yang menawar batas
antara ditinggalkan dan meninggalkan


harus ada kah?

Tuesday, December 9, 2008

Friday, December 5, 2008

Yang Tinggal Adalah Nyata


Tanah melahirkan pepohonan

akar mengikat kenangan
tentang siang malam di wajah kayu

Pada pintu gereja yang terbuka
kuserakkan gemuruh dadaku
dentang lonceng
asap lilin yang tertiup
menghembuskan doa
ke entahmana

Di kaki salib
kata-kata hilang makna
cuma desis
dan gerimis
air mata

kesedihan yang lalu
biarlah jadi milik masa itu

Dedaun yang gugur di kursi-kursi
seperti mengerti
seperti mengisi
jeda sepi

Mungkin juga disana
ada telinga yang setia
menampung segala
suara aneka rupa

Yang tinggal adalah nyata
yang harus dijalani
sebagaimana biasa

Thursday, December 4, 2008

Sendiri di Tepi Negeri


waktu terus menua. seperti gemetar yang merambat dari dalam bumi

sampai ke ujung tiang-tiang gedung tinggi.
dan sepasang tangan harapmu
menggapai-gapai langit,
meninggalkan jejak di ujung kaki yang jinjit,

berulang-ulang sampai lenganmu mengapar telentang,
lalu tertidur
oleh kelelahan
dengan wajah menantang kekalahan.


tak ada musim tersisa. semua kau babat dengan langkah-langkah
tegap dari hening salju hingga panas ceracau.
peperangan yang telah
terlewati kini jadi batu
di candi-candi ingatanmu. menjadi sejarah yang kaku,

dipenuhi debu dan salah paham ini itu.
tapi prasasti sepak terjangmu
tetaplah terbaik
untuk dipersembahkan pada senja yang agung, yang mencatat

luka-luka kujur tubuh nan merapuh.

tak perlu melompat. matahari menggelinding
ke bawah kaki airmu yang
pernah merayap,
menjejak, berjingkat, berlari. bersama itu langit akan turun

sampai ke batas alismu,
memalamkan mimpi-mimpi silau siang bolongmu.

*kemarau*


: membaca gerah gairah yang tak pernah menyerah

hingga tetes-tetes hujan itu datang berjatuhan





*merespon sajak:
Sejarah Kemarau di Pintumu-nya Mbak Inez
(http://inez.dikara.web.id/) di bawah ini



musim kemarau tak lagi setia. dibuang-buangnya cahaya hingga
pohon-pohon mengering dan terbakar. tanah tak lagi menyisakan air bagi
sekelompok akar: benih bagi sepasang pintu yang kelak akan membingkai
batas antara kau dan aku. begitulah mereka berasal dari kehidupan
lain; penuh semak belukar dan satwa liar. kini dibawanya sejarah ke
muka pintu.

jarak tak hanya bicara soal metrikal atau waktu tempuh. ia bicara
tentang pagar yang menjaga ketat rindu yang sengit beradu takut. yang
bising serupa serendeng gelang jatuh di ruang yang begitu lengang. dan
kau berharap seseorang akan mengumpulkannya lalu memasangkannya
kembali satu demi satu di tanganmu. merapikan sambil meletakkan
jemarinya di bibirmu. mengeringkan butiran-butiran kecil yang jatuh
di pangkuan.

2008

Oleh Pejam


ia mencoba mencabut malam dari mataku

aku mencegahnya dengan menempatkan
pagar bintang di telaga hitam
yang sangat kusayang

cahaya yang jatuh di sana
adalah misteriku yang rahasia
lengkap dengan serbuk bertuah yang berguguran
dari sayap-sayap serangga bertongkat
yang hidup di rawa kelopak bunga mataku

ia mencoba mendatangkan siang
yang kusambut dengan senang tapi juga
keraguan yang menyengat pikiran
karena matahari memendarkan catatan api
dengan kobar panas yang bisa kau rasa
dari jauh sekali

tapi malam di mataku
tak kan hilang dan terus dijaga
oleh pejam

Sunday, November 30, 2008

cup !


naskah yang mondar-mandir di bibirmu

memikatku

sudah kuabadikan lewat tatapan
lewat ingatan, tapi ingin kukecup

cup! sampai belepotan naskahmu
di bibirku

dan rasanya terkenang-kenang
di dadaku

Thursday, November 27, 2008

Bahumu


bahumu yang diam, hendak kuajak bercakap
tentang puisi yang tersesat di antara gunung dan pantai
berdiri gemetar sendiri kehilangan jalan pulang dengan
kaki telanjang kelelahan tapi matanya nyalang menatap
kejauhan (seperti bahumu yang memendam beban dengan
tabah tanpa kenal lelah)

bahumu setia, waspada akan segala
yang lewat di belakang ayunmu ke depan,

juga menjaga mimpi-mimpi yang tidur bersama puisi-puisi
yang kukubur dan selalu ingin kujenguk setiap kali kupeluk
kau ke dalam lengan-lenganku yang rindu
lalu merebahkan kepalaku

sembari mengecup ranum harum tengkukmu

D a w a i


jatuh, jatuhlah ke dalam mimpi

denting ini dihantar oleh bayu
yang terpantul dari pucuk dedaun bambu

melayang syairnya ke anak-anak rambut ikalmu
yang mengikat kuat akar harap di balik kelopak pejam itu

jatuh, jatuhlah ke dalam sepi
sepi yang jauh dibawa pergi
bersama getar dawai
merebahkan kalbumu
perlahan tapi pasti

Wednesday, November 26, 2008

kau tahu,


selalu pintuku terbuka

bahkan sering terlewat deritnya
oleh telingamu yang terburu-buru
setiap kau berlalu

tak pernah aku menguncinya
meski kau mengendap juga lewat jendela
dan menyurukkan mimpi-mimpimu
tanpa suara

Tuesday, November 25, 2008

Membaca Menulis Memakna


Di dalam tiap kalimat sederhana

aku terpekur lama
menatap huruf menjadi kata
menjadi aneka makna
seperti gambar di layar mata.

Kalimatnya bermacam rupa
tapi aku tak bosan ulang menambah baca
sampai bertebaran ke luar kepala.

Sampai aku lalu mencari-cari kembaran rasa
untuk kusandingkan sedemikian pula
sehingga aku punya kalimat yang baru
yang mengikuti lekuk gaung kalimatnya
dengan makna yang tidak sama.

Tapi kaki akalku ingin melangkah
lebih jauh lagi meninggalkan
gaung yang lekuknya kuikuti
dari kalimat sederhana tadi.

Maka dengan senang hati
kalimatku berjalan dengan caranya sendiri
kata-kata mencari pasangannya sendiri
menjadi kalimat yang baru sama sekali
yang meninggalkan jejak makna
di benakku yang pasrah menunggu
akan memakna apa
kalimat-kalimat itu
nantinya.

Kata Koma Jeda : Dari Kopi Sampai Titik


kopi, jazz, hujan, puisi, bunga, berdansa, benderang, tingkap,
melodi, peta,
kebun, kotak, tengok, gelang, lampu, genting,
laut, kertas, ikan,
gelas, cemara, roti, gitar, arloji, tahun,
fantasi, hitam, pesan,
sepatu, lem, sawah, mood,
kalender, pigura, tangga,
dalam, surat, tas,
wajah, pena, siul, pindah, foto,
bermain,
asik, mama, cinta, musik, rumput,

guruh, telinga, mulai, draft,
jeda, jeda, jeda, jeda,
jeda, jeda, jeda,
jeda, jeda,
titik.

Monday, November 24, 2008

Di Kamar


Bersama kepulan asap

Ia melayangkan kekosongan
Terhembus dari dalam dadanya sendiri






*habis baca
http://thetruthaboutjakarta.multiply.com/journal/item/322

Bagi Hidup Yang Sebelumnya Begitu Biasa


ia adalah teman main segala musim


setiap musim angin
kesedihan kami gulung menjadi bola
lalu kami tendang setinggi-tingginya
ke angkasa agar melebur di mega-mega

kemudian turun bertubi-tubi sebagai hujan
yang membasahi kami dengan tawa
dan rasa segar yang membasuh
semua lara hingga mengering lupa

waktu lain ia menjadi selimut tebal musim salju
ketika air mata membeku menjadi es batu
di wajah yang hampir kaku biru

ia membuat perapian di goa benak
lalu menambah nyala hangatnya
dengan menarikan dongeng seribusatu malam
di bayangan dinding-dinding yang tadinya dingin

ia juga bintang utara
selalu menjadi tanda
meski malam teramat gulita
dan kaki kehilangan mata

ia segalanya
bagi hidup yang sebelumnya
begitu biasa

Friday, November 21, 2008

Reflection


ia memilih menyerahkan ingatannya kepada angin

tetapi angin terlalu cepat bekelebat
sampai ke celah rongga di bawah akar
kenangannya yang luas menjalar sampai jauh
melewati ujung-ujung nalar penghabisan
dan akhirnya

ia tetap saja menatap nanar
pada bayangannya sendiri yang selalu terlihat
lebih muda jika ia sedang gembira atau sebaliknya
lebih tua jika ia dirundung gulana tentang apa saja
dan karenanya ia tidak pernah percaya pada

ia yang sedang memperhatikan dirinya dari dalam kaca
yang mungkin tak punya ingatan karena ia hanya pantulan
dari tubuhnya yang terus-menerus menggugurkan dan
kehilangan kenangan yang semakin hanya menjadi
bayang-bayang

yang barangkali memang sudah terlupakan

Thursday, November 20, 2008

Lirih


lirih sendu nyanyian itu menyayat serat-serat ingatan


aku terkenang ibu
: karang kokoh di pantai panjang

aku terkenang ayah
: ngarai hijau membentang

selalu tentang kasih dan rasa rindu pada kampung halaman
pada yang maha tahu dan maha penyayang

lirih sendu itu mendekam di kalbu
ingatanku


Yogya, Nov 17

Love Machine



: elle



tembakkanlah peluru rindumu ke purnama di mata nun itu
meski cuma membayang, meski rasamu jauh melayang

gairahmu gelombang laut penantian
bergulunglah
bergemuruhlah
meski pantaimu diam sendiri
meski deburmu menghantam dinding hati sunyi

lautan itu jarak memabukkan
seperti kau yang terus mengibarkan
namanya di layar perahumu yang setia

tembakkanlah peluru rindumu ke purnama di mata nun itu
meski cuma membayang, meski rasamu jauh melayang

Monday, November 17, 2008

Dari Lima Kata Tentangmu ke Kita



: buku, waktu, kuning, kopi, film




wajahmu terbenam di halaman buku
matamu memantulkan huruf-huruf
yang kau lewati satu demi satu

waktu adalah nafas,
menjadi sebab engahmu
menjadi patok-patok perjalananmu
menjadi yang berkejaran denganmu

dan kuning adalah warna yang setia
bagi perjalanan kita. yang menjaga matahari
mewarnai senja, menyegarkan putik bunga,
setiap pagi yang bijaksana

kita saling mengirimkan pesan
lewat udara, lewat aroma kopi
dari meja ke meja

seperti potongan film
aku ingin menyimpan
segala adegan yang bahagia
tentang kita

Jalanmu Yang Gerah


Memang sajakku jadi terhenti, oleh air mata hari

yang telah datang pagi-pagi sekali.
Sebuah gedoran pada pintu kamar nistamu,
membuyarkan mimpi aksara di ambang mata.
Kau, yang menikamkan dosa ke tubuh yang kau rakusi
menyeluruh.


Memang jejakmu teramat tebal, mudah dikenali
ke zaman mana kau sembunyi, api neraka menjalar
membuntuti. Catatanmu hanya sampah, dan berhati-hatilah,
jalanmu semakin tak terarah, mengabur oleh debu sejarah
yang kau lewati dengan serakah. Membuatku gerah.

Wednesday, November 12, 2008

Di Dadamu Ada Jendela


: nm



di dadamu ada jendela
tempat aku bisa melongokkan kepala
melihat dunia

di luar sana

angin yang membelai-belai wajahku
adalah harum aroma tubuhmu
yang membuatku selalu digulung rindu

aku mendengar degup
semacam geleduk suara kapal-kapal kayu
yang datang dari kejauhan biru

merapat
merapat mereka
di dermaga tenang

dekat jendela

tempat kulepaskan pandanganku tentang
segala lara

kapal-kapal kayu itu
membawa cerita
untuk kita dengar

sebelum lelap
saat malam tiba

saat jendelamu
tertutup hangat

dan aku berbaring lega
di balik lembut tirainya

Thursday, November 6, 2008

Sesekali


di jendela basah kita mengenang musim

yang mengugurkan haru biru ketika waktu
mengaburkan angan bersama angin
yang beterbangan di sekeliling

pikiran kita tertumbu pada alasan
mengapa seluruh hidup tampak seperti
sekotak kutipan yang diputar sedemikian rupa
menjadi baris-baris setapak yang fana

Pada Mendung Kita Mengadu


sepatumu masih basah

sisa hujan dan tetes-tetes air yang jatuh
dari pelepah besar pohon di tepi jalan itu
mencatat ketergesaanmu

suara katak dan geram guntur di langit kelabu
seperti beradu menderu-derukan gemuruh
melatari hasrat yang peluh
kau kita aku

anginlah gerakmu
gerimis nyanyianku

pada mendung kita mengadu
segala sendu

Wednesday, November 5, 2008

Hujan


Hujan menyihirku dengan tabuhan dendang tak beraturan,
membawaku pada sebuah rindang yang basah,
sebuah taman penuh kejutan. Penuh tantangan.

Hujan membuatku merasa bersayap, terurai panjang,
menetes dari setiap gerakan. Seperti benang-benang bening,
air yang menggelinding, di sekujur jiwaku yang siap terbang.
Siap berpetualang.

Hujan mendatangkan lamunan panjang tentang kesenangan,
tentang sendu yang menggairahkan dan rindunya kehangatan.
Tentang banyak tentang.

Tuesday, November 4, 2008

Meretih


aku mencatat air mata menetesi ranjangmu yang pendiam

sehabis kau gembok pintu dan memadamkan lampu
agar dukamu sempurna dalam gelap semata
ketika derik roda dan seretan langkah malam
menjadi latar belakang sayup-sayup tangisanmu pelan
maka bagaimana kulukiskan kesedihan
jika warna yang kau beri hanya hitam
sesudah bangunan mimpi yang terdiri dari balok-balok doa itu
terguncang oleh dentuman bongkah aturan yang berjatuhan
menimpa tanah harapan dengan bunyi yang melesak ke dasar dada
tapi suaraku tertahan hujan dari balik kaca jendela
kala kulihat bayanganmu mengendap-endap di dinding ingatanku
pada sebuah musim yang penuh guguran daun-daun waktu

betapa ingin kurengkuh kau selalu ke dalam pelukku
sejak saat itu

Monday, November 3, 2008

Ney


mimpi, bukankah seperti hidup?
yang menyusup bagai semut
waktu kita meringkuk dibalik selimut

raung igaumu membawaku pada macetnya kota.
suara klakson tak berirama
dan wajah merana
bertopeng tawa

tapi balon-balon berwarna
angan mereka, beterbangan ke angkasa
meninggalkan kepala, meninggalkan kota
dan kita berkelana

mencatat jejak-jejak
sajak-sajaknya


* meletus bersama balon hitam (http://blackuniverse.multiply.com/journal/item/388/ada_balon_meletus)

Friday, October 31, 2008

Saat Teduh


musim salju, adalah kesukaanku

sewaktu matamu memantulkan
putih yang menyelimuti seluruh
letih yang telah gugur, tertidur

lelap dalam sendu membeku
haru kala kau menghitung butir
rosari yang menyebut namaku
sepenuh khusyukmu

dan dingin membuat bijaksana
segala ingin, menyala bersama
lilin-lilin doa ketika kita
mendekapkan hati di keteduhannya


Re: DTR


Malam seperti sihir di latar kastil, ketika

cahaya perak itu memendar di setiap
kaca-kaca berwarna jendela mata kami
yang terkesiap mematung takjub pada
suasana magis yang tercipta

Di antara sadar dan tidur kami temukan
jalan setapak berumput yang kau ceritakan
yang mengarah menuju jembatan kecil di atas
sungai bening dengan ketenangan yang sempurna
dan di seberangnya adalah lembah indah yang
menumbuhkan pepohon mimpi kami beraneka buah
juga rupa-rupa daun anugerah

Kami mencari gembala penunjuk jalan, yang kabarnya tengah
kau lacak di halaman kitab-kitab tua penuh tanda
serta teka-teki masa melampaui jauhnya ingatan
dan gurun-gurun tak bertuan yang pernah kami
lalui sebelum kami didatangkan pada hari kelahiran

Maka pada sajak, kami terus menebak akan
keagungan yang tersimpan dalam keping-keping
kejadian seperti halnya malam, yang menggelapkan
pandangan sementara kita mesti terus terjaga
mencari terang yang memancarkan kebajikan




*membalas puisi om Dedy (http://www.toko-sepatu.blogspot.com/)
yang membalas puisiku

Wednesday, October 29, 2008

Menutup Malam


di pintu mimpi kita berjanji

untuk bertemu lagi
saat pagi

Tuesday, October 28, 2008

Catatan Angka-angka


: Maria Bernadetha Rosario




sembilan belas

engkau melintas berbekal mimpi
satu tas, seribu kantung pikiran.
lembar wajah yang kosong dan jemari penuh
crayon warna-warni


tujuh belas

aku berlari menerabas belukar doa
menghadangmu, batu cadas di tepi
kapel kecil dan dengan kelontangan
rantang aluminium kau aku menyebut nama
kita


dua belas

selama itukah waktu? rasanya seperti setoples
kacang goreng yang kita kunyah tak sudah-sudah,
berceloteh, berceloteh, berceloteh,
diantara kepul asap, harum kopi, wangi susu,
bau naga, gelegak tawa dibawah hujan dalam jas berlubang
sambil menyusuri jalanan, air mata, oh betapa berember-ember
bisa kita banjiri rongga-rongga cerita yang kering nyaris mati.

cuma satu kata yang kita punya: masih


tiga satu

berdiri di padang hidup, menatap jauh ke sana kemari
ke sini, ke segala arah. yang bergumpal di dada biarlah
tetap di sana, bekal baru berbobot tak sama, yang selalu
meninggalkan jejak dalam di setiap tapak yang kau
tinggalkan. melangkahlah. jangan ragu. beranilah
hingga sedih tak mau datang lagi*, hingga bahagia
adalah dataran yang kau pijak.


dua sembilan

yang kupunya selalu sayang, tak pernah habis terisi
untukmu, ya, untukmu. sampai angka-angka berderet itu
mengabur di mata kita, sampai tak terbaca.


selamat menambah angka


==============================
*meminjam liriknya Ipang: Sahabat Kecil

Betapa


kami terkurung jengah. lelah mendongkrak segar,
menyambung sabar.
ketiak yang basah ingin meludah
pada wajah mereka uang seperti dadah. kecanduanlah.
mabuk pada hidup. kegerahan roda kereta angan ini
berlari hilang. hilang biar lesap di perut bukit.
di ketenangan samadhi malam.

tidurlah kegagalan, duka yang parau.
enyah. enyah bersimbah gundah. tinggalkan kasih
pada ujung-ujung dedaunan biar menguarkan lega,
rasa reda yang kami damba. dalam genggam jaman meronta
ingin-ingin kami melesat terbang dari gelembung peristiwa
di angkasa bayang-bayang.

semua yang serah, usia yang hadiah, cinta yang anugerah.
berbaur kami dalam patahan-patahan mimpi
dihembus angin dini hari saat pejam mata dibangunkan pagi.

lalu bangkit kami mencari rumahmu,
mengetuk pintumu, memanggil namamu,
mengharap rengkuhmu, mereguk damaimu.

Wednesday, October 22, 2008

Jika Terjaga


: Alice


Petualanganmu adalah remahremah mimpiku

yang mengalir sepanjang sungai Thames

pada musim panas bulan Juli di gumaman

terbatabata paman Lewis

Alice!

Kelinci putih yang kau kejar itu ketakutan pada waktu

Ia cemas kehilangan waktu

Ia sibuk mengejar dan dikejar waktu

Ia sendiri tak berani membunuh waktu

karena waktulah yang membuat bayangannya abadi

di permukaan bulan kala purnama terang

Alice,

Tak ada lagi yang ajaib di dunia ini saat kau tumbuh

dewasa dan tinggal dalam pagar norma-norma

Kau akan belajar bahwa siapa pun punya kisah sedih untuk

diceritakan jadi tak usah heran mengapa monster singa

berkepala elang itu terharu biru mengenang masa lalunya

Alice,

Jika kau terjaga di taman indah impianmu

dengarkan baikbaik bisik daun di pepohonan

Satu diantaranya akan mengering terbang jatuh ke pangkuanmu

Semoga ia membawa kejutan menyenangkan

bagi petualanganmu mendatang

2006

Tuesday, October 21, 2008

Too Sad To Be Ok







but I try

Setelah Badai Itu Berlalu


waktu kau mengunci pintu-pintumu

tahukah kau badai angin berputar begitu kencang,
hujan, air, segala terbang melayang sembarang
saling menghantam, bertabrakan, menderu-derukan
suara mengancam, memporak-porandakan bangunan,
mengangkat atap-atap, menyayat jendela-jendela, menampar
pintu-pintu, mencabut akar-akar, menghancurkan impian-impian
dalam kegelapan, dalam kekalutan

sedang aku ditengah-tengahnya
memanggilmu, menggedor pintu-pintumu,
mencari celah jendelamu, meraungkan ketakutanku
menempelkan gemetarku, meneriakkan sedihku
yang perlahan menghilang tercabik kekacauan yang mendera
seluruh keberadaanku

setelah badai itu berlalu
aku telah menyerpih dan puingku
mencari serpihku yang lain
yang sebagian tertinggal di sekitar pintu-pintumu

aku akan merekatkannya lagi
dan kali ini belajar untuk tak peduli

Monday, October 20, 2008

Hingga


nyaris


patah

menyerah.



Apakah

kau

tetap

tabah

bersamaku

tanpa

kenal

lelah?

Friday, October 17, 2008

Meneguhkan


Senyaman tudung angkasa merunduk di atas bukit,
namamu adalah angin membelai pepohon
merindangi tanahku dan gelisah debu.

Pada hujan aku berkesah tentang mata langit yang basah,
yang seperti menyimpan sedih tertahan jauh di dalam
gumpalan awan berwarna abu dan terus-menerus dikelabuinya
dengan biru.

Maka aku terus berharap,
sembari mengancingkan baju hangat rapat-rapat
agar doa di dadaku tetap kuat dan detaknya setia berjaga
menemani waktu bagi jiwa.

Juga ketika menengadah tepat tatkala ranting-ranting kecil
menggugurkan dedaunnya ke wajahku, namamu membawa pesan
kasih tak berkesudahan pada tiap tapak aku berjalan.

Thursday, October 16, 2008

Mantra


tetap saja kuaduk mantramu


meski terdengar basi
dan ramuan di atas tungku itu
tak lagi dipanasi api
karena rumah hantu tempat kita saling menakuti
kini menjelma jadi gedung yang tinggi

karena kini untuk bahagiapun kita harus beli
harus antri
harus buat janji
harus menepati harus

sekarang semua serba terburu-buru
sampai kau sering lupa mengikat tali sepatu
dan menyeret debu langkah-langkahmu
ke pintu ingatanku

zaman yang bingung katamu
atau kita yang berdengung
menjadi lebah diantara jutaan lebah
tak tahu lagi artinya pulang ke rumah

tetap saja kuaduk mantramu

merebus kenangan
mereguk ramuan suka-suka kata
mengenang betapa kita
suka menyihir
dengan angan-angan

secara serampangan

Wednesday, October 15, 2008

Seorang Anak Suatu Pagi


kegelapan itu melesat pergi lewat ujung-ujung rambutnya

meninggalkan terang yang semakin lama semakin benderang

di antara jajaran pepohon rindang dalam pikirannya
menyembullah peri bersayap perak berambut ombak
yang mulai bernyanyi menyeru-nyerukan sesuatu
yang kedengarannya seperti pepatah tentang sepatu
dan langkah-langkah baru

jalan nafasnya begitu lebar begitu segar
dan matahari berseri-seri
menghangatkan taman dadanya dipenuhi ranum putik janji

matanya langit bersih
selaput awan yang melintas adalah gumpal haru biru
yang sesekali melinangkan bulir-bulir gerimis
luruh di pipinya yang syahdu

untai senyumnya pelangi terbalik

memberi warna pada seluruh hari yang ia sebut baik

Thursday, October 9, 2008

Ina Maria*


Ina... Ina... Maria
Ina ata sare
Ina... Ina... Maria
Ina peten kame

1. Tobo tuen pae parep
Peten non go anam ue
Susah doan paya lela
Paya tada tana ekan
Ina... Ina... Maria
...................

2. Kame ia ata nalan
Paten kame anam ue
Ribun pia susa tudak
Ratun pia paya taga
Ina... Ina... Maria
...................

3. Ole Ina o Maria
Ribun tani loran lou
Ratun pia susa tudak
Sudi Ina o Maria
Ina... Ina... Maria
..................

4. Nalan kame pulo kae
Utan kame lema kae
Nuba pia tani mayan
Mayan ema o Maria
Ina... Ina... Maria
...................


*Bunda Maria (: sebuah lagu dalam Bahasa Lamaholot)

Wednesday, October 8, 2008

Kabarkanlah Pada Angin


kabarkanlah pada angin nyanyian sedihku

bingkisan rindu yang dibawa langkah-langkah ragu
degup yang terbenam di dada waktu
tangis tertahan raungan membatu

kabarkanlah pada angin nyanyian sedihku
dinding putih yang retak oleh sesak membuncah
dengung cakap yang berkelebat sekejap lalu patah
dihantam godam meremuk isak, pecah

kabarkanlah pada angin nyanyian sedihku
temaram harap redup satu-satu
jiwa tersesat di hutan gelap berkabut kelabu
hujan berbaris mengiris jarak sunyi dengan kelu

lirihku memantul di tebing bisu
gaungkan rintih ke lembah-lembah jauh
dan jatuh terlelap pada segala senyap

Tuesday, October 7, 2008

It's a hard, it's a hard, it's a hard Dylan Day

Oh, where have you been, my blue-eyed son?
Oh, where have you been, my darling young one?
I've stumbled on the side of twelve misty mountains,
I've walked and I've crawled on six crooked highways,
I've stepped in the middle of seven sad forests,
I've been out in front of a dozen dead oceans,
I've been ten thousand miles in the mouth of a graveyard,
And it's a hard, and it's a hard, it's a hard, and it's a hard,
And it's a hard rain's a-gonna fall.

Oh, what did you see, my blue-eyed son?
Oh, what did you see, my darling young one?
I saw a newborn baby with wild wolves all around it
I saw a highway of diamonds with nobody on it,
I saw a black branch with blood that kept drippin',
I saw a room full of men with their hammers a-bleedin',
I saw a white ladder all covered with water,
I saw ten thousand talkers whose tongues were all broken,
I saw guns and sharp swords in the hands of young children,
And it's a hard, and it's a hard, it's a hard, it's a hard,
And it's a hard rain's a-gonna fall.

And what did you hear, my blue-eyed son?
And what did you hear, my darling young one?
I heard the sound of a thunder, it roared out a warnin',
Heard the roar of a wave that could drown the whole world,
Heard one hundred drummers whose hands were a-blazin',
Heard ten thousand whisperin' and nobody listenin',
Heard one person starve, I heard many people laughin',
Heard the song of a poet who died in the gutter,
Heard the sound of a clown who cried in the alley,
And it's a hard, and it's a hard, it's a hard, it's a hard,
And it's a hard rain's a-gonna fall.

Oh, who did you meet, my blue-eyed son?
Who did you meet, my darling young one?
I met a young child beside a dead pony,
I met a white man who walked a black dog,
I met a young woman whose body was burning,
I met a young girl, she gave me a rainbow,
I met one man who was wounded in love,
I met another man who was wounded with hatred,
And it's a hard, it's a hard, it's a hard, it's a hard,
It's a hard rain's a-gonna fall.

Oh, what'll you do now, my blue-eyed son?
Oh, what'll you do now, my darling young one?
I'm a-goin' back out 'fore the rain starts a-fallin',
I'll walk to the depths of the deepest black forest,
Where the people are many and their hands are all empty,
Where the pellets of poison are flooding their waters,
Where the home in the valley meets the damp dirty prison,
Where the executioner's face is always well hidden,
Where hunger is ugly, where souls are forgotten,
Where black is the color, where none is the number,
And I'll tell it and think it and speak it and breathe it,
And reflect it from the mountain so all souls can see it,
Then I'll stand on the ocean until I start sinkin',
But I'll know my song well before I start singin',
And it's a hard, it's a hard, it's a hard, it's a hard,
It's a hard rain's a-gonna fall.


Friday, September 26, 2008

Samadhi


di antara arca puisi

kami mematung, membiarkan asap wangi pikiran
berhembus keluar dari pancaran aksara

sampai kantung usia penuh berbunga
kami harus terus menangkap sasmita

melihat yang tak terbaca
mendapat yang tak tertangkap

mantra-mantra makna
diawang sihir kata

seperti meramu sesaji ilusi
supaya api rasa terus membara

kami

bersamadhi tiada henti

mencari petuah
pada lekak-lekuk sunyi
arca puisi

Thursday, September 25, 2008

Realm


Purnama siang hari di mata yang api

menghunuskan dingin ke jantung sepi

Ladang-ladang mencumbu hujan
dalam mimpi kemarau hati

Kerikil tajam dalam telapak bukan nyeri
tapi tanda gelisah yang darah

Cuma malam dan rahasianya
mengental pekat di gelap kepala

Pada segala yang fana tak ada raja
karena jelatalah kita di semesta raya

Tuesday, September 23, 2008

Perut*


Aku tak pernah mengeluh.

Patuh, pada apapun
yang kau suguh.

Gema raungku yang kau dengar
adalah denyut syukur tentang
rinduku pada berkah-berkahmu.

Aku haus akan yang kudus
tapi mustahil mengelak akibat
dari sampah yang kau namai lezat.

Jadi siapa yang rakus
ketika liur tersihir mata,
bunyi, aroma dan ingatan tentang rasa.

Aku cuma penggiling,
pemusnah segala yang kau ingin cerna
oleh pesta pora indera.

Aku adalah persinggahan lapar dahaga
pengantar yang setia
jalan yang tak pernah menaruh curiga
pada hasratmu yang riba.



* adalah respon atas sajak Lapar-nya om Dedi TR (toko-sepatu.blogspot.com)

Friday, September 19, 2008

Dalam Pejam


ia ingat berdansa

jemari digenggam telapak wangi cendana

are you lonesome tonite?


berputar pelan

lampu mata meredup

nyaman

terayun di perahu tidur

nahkodanya yang gagah


ia baringkan lapisan lelah

membelainya sebagai dongeng

happy ever after

semua lega

linang bening itu beralasan

kanak-kanak di jiwanya

rindukan buaian


bukan berita sedih, pupus harapan

bilur-bilur hidup yang tak sempurna disembuhkan


cast me gently into morning
for the nite has been unkind


seperti ingin mereguk kembali

tatapan belia di atas ranjang

setelah pagi menghapus penat sepanjang malam

dan jiwa bersinar tanpa sepercik beban

Akhirnya Leleh Juga Oleh Cendekia


apa yang kami bisa

selain membuka telapak tangan
pada bibir merah bungkam
: kebenaran

ini bukan kesalahan
tapi pagar yang kau tempatkan
secara keliru pada yang kami namai
: pintu

kaki-kaki kami menuju matahari
maka sebagai hamparan pengantar
engkau jalan utama nan luas
: berjasa

kami tahu engkau hanya gugup
menempatkan diri dengan patut
bekerjalah sama
: seterusnya

lalu terang terik itu karena kau jualah sinar-sinarnya!

Ma kan


sepanci minyak di bawah gelendong telur-telur,

gudeg nalaj olos menjawab keroncongan malam
yang kelelahan sehabis meraungkan hujan

waktu. kita berebut seperti anak kecil yang ketakutan
jumlah kelerengnya berkurang, atau baju spiderman baru
lengkap dengan sayap dan penutup kepala bergambar
jaring laba-laba yang enggan dilepas begitu terpasang di badan

satu suap menit berarti emas bagi perut intelektual
penuh gas mimpi dan gelora menyala
dari sanan wetan hingga amsterdam

kerupuk kulit yang renyah mengingatkan kemiskinan
di tiap gigitan. tentang daging daur ulang dan laparnya pengetahuan

wilayah itu bernama air kuning, ada semacam hutan
di jalan berkelok menanjak menuju ke sana.

caranya bercerita membuat dahi seperti monitor kabur
dan antena yang selalu kalah oleh kejamnya cuaca

kakakku adikmu kita banyak serupa kisahnya.
salah satunya baju lungsuran penuh sejarah kenakalan
yang masih saja melompat-lompat dalam kenangan

digigit ular, tertusuk paku, mencari siput, terjerembab
dengan sepeda ke dalam sawah,
dikejar tawon, main sembunyi di bawah temaram bulan

ketika besar memilih jadi teman atau pacar
sesulit menebak isi durian tanpa boleh membuka sedikit
untuk merasakan sengatan baunya

suatu drama siang di New Jersey, a stupid lover boy
membenamkan kepalanya di tong sampah bermil-mil jauhnya
dari rumahnya sendiri untuk menangisi kebodohannya.
cinta yang menggeretnya ke belahan benua-benua rasa

untuk apa bicara sepuluh tahun kedepan sedang saat ini
tak mampu memutuskan persoalan hati

setelah menjelajah pantai selatan tempat suku sasak
lalu duduk dalam sebuah kafe remang, menenggak bir
sambil menyerap suara kurang merdu
penyanyi orgen tunggal melantunkan lagu pop yang didangdutkan,
apakah yang kau pikirkan?

bangku bambu itu mencatat ratapanmu,
ratapanku yang kita torehkan setelah jam
berdentang pukul dua belas malam

menguburkan dendam, uap panas tak berwarna
yang mengepul dari kepala

'angin-angin dulu ya sayang'

kepala pusing tergeletak
diranjang biri-biri

ini hikmah yang harus disyukuri
setelah kenyang menjelang dini hari



Tuesday, September 16, 2008

Telepon di Sore Hujan


lalu hening. sesudah bye-bye dan tombol 'off' ditekan

dan mata terpaku pada segala yang basah di luar rumah
sambil mengejar denging percakapan
yang tertinggal di kuping

malam menjelang ketika pesannya datang
menebalkan rindu yang bertumpuk di alas dada
dengan kalimat akhir yang selalu sama -
aku cinta padamu, i love you

Natal dan Ramadhan


Natal pernah bertemu Ramadhan

pada suatu waktu sebelum tahun baru

mereka bertukar pengalaman
tentang puasa dan kelahiran
tentang malam berbintang
tentang dunia dan kedamaian

Ramadhan tinggal sebentar lalu berpamitan
karena harus mengikuti perjalanan bulan, ujarnya
Natal mengantarnya ke batas tanggal
dan berkata bahwa ia takkan kemana-mana
sebab matahari telah menetapkan tempatnya berada

mereka berpisah dan saling mengenang
mereka tahu setelah masa yang panjang
Natal akan bertemu Ramadhan
pada suatu waktu sebelum tahun baru

Suatu Malam


denting gitar

di penjuru ruangan
membuai perasaan
melayang ringan

"bawa aku pergi"
lantun sang penyanyi
sedang aku sibuk
dengan puisi

sampai lagunya selesai
aku masih terpaku
oleh kata-kata
yang kutulis sendiri

Friday, September 12, 2008

Ofelia


jasadnya ia tinggalkan begitu saja

di tepi sumur lalu ruhnya
merambat masuk ke dalam lewat
tangga-tangga berlumut seperti
gigi melingkar di sepanjang dindingnya

pohon tua dengan gelendung akar bak
tangan-tangan yang siap
mencakar itu tampak semakin
berkuasa menyeramkan

daunnya yang hanya sedikit terlihat sibuk
menggigil atau mungkin merinding atas
kengerian yang mencekam tepi
sumur dengan sebentuk tubuh gadis kecil di
bibirnya bagai sedang tidur tanpa dengkur

mungkin aku benar-benar seorang
puteri di negeri jauh bernama impi
dan di atas sana pada suatu hari
seseorang akan mengingatku
dengan kesedihan yang wajar
tanpa obral tangis menggelegar


Thursday, September 11, 2008

Macames Inori


aku tak mencemaskan sepi

tapi keramaian iri padaku

aku tak tahu seperti apa usai
sebab mulai meninggalkan henti

aku mengaduk pikiran kosongnya
ia muntah hampa kemana-mana

aku melesat secepat cahaya
dalam gelap ia meratap lambat

ia meminta sedekah perhatian
aku menyumbangkan diam

Friday, September 5, 2008

Empat Bait Kemudian


I. penghujung tahun menunggu di pintu gembira

tabungan keringat yang kita teteskan penuh berbunga
kemarin mendung itu menghujankan harapanmu
aku terpekur di tanah basah, membilas serapah


II. memang, takutku beringsut ke batas kuduk meremang
kau pula yang menyirnakannya dengan tenang
muluskah jalan ini meluncurkan mimpi?
mata mesti berjaga menyimak madah rambunya


III. hidup yang adalah cerita pendek berkepanjangan
selalu saja jejak berlubang kita menumbuhkan benih
kenangan yang rimbun, atau gersang sama sekali
sehingga sulit untuk kita temukan lagi


lV. aku bermohon perisai itu selalu ada
seperti dadamu yang baja
sedang senjataku hanya doa
kutembakkan ke mega-mega menggerimiskan lega



Monday, September 1, 2008

Di Sini Kosong Tidak Ada Apa-apa*

.

.


.


.




.




.




.






* seluruh kata sedang pergi berpuasa

Friday, August 29, 2008

Gelegak


adalah hampar yang basah oleh sejarah

jejamur tumbuh di sepanjang lorong peristiwa
menggigilkan makna

sebuah siang di dinding mendung
dan keretasan membingkai dengung
siapa tak nyalang
kalau terbakar api kasar

adalah gambar yang gerah oleh amarah
wewarna riuh di bentang sapuan cerita
memancarkan peringatan

setatap jangkar di ujung mata
dan keberanian membebaskan kecewa
siapa tak jalang
kalau tertikam puluhan dendam

Thursday, August 28, 2008

Litani Hati


: halov


Kau meminta lembaran waktu yang kukosongkan
untuk kau isi sendiri dengan segala kedirianmu
tanpa coretan apapun dariku seperti kutatap kamu
dari balik kaca bening jam dinding saat jantungku
berdetak-detak menghitung detik-detik tanpamu

Karenanya pagi siang sore malamku menjadi berlubang-lubang
tertembus peluru sepi tapi tak mau kutambal karena
angin yang berhembus dari situ menderu-derukan namamu,
menyejukkan gerahnya perasaan jiwa yang terbelah.

Aku menengadah pada pemberi berkah
mensyukuri lembaranku sebagai anugerah
dengan tinta setia di tiap tetes lariknya lalu
khusyuk bertelut memanjatkan penyerahan
jiwa raga bersama namamu di setiap tarikan nafasku.

Ketika senyap menghanyutkan
segala yang lelap dariku dan dingin menyergap
ujung-ujung kaki terus naik ke dahi maka
pelukanmu adalah obat hangat yang menyalakan
percik hidup, menerangi segala yang redup,
memenuhi rongga yang menganga.

Kau membungkusku dengan lembaran
yang kau minta sebelumnya, menghadiahkan
segala isinya buatku hanya bagiku dalam
dekapan rindu yang menggebu-gebu lalu kita menyatu,
meleburkan lembaran waktu untuk kita persembahkan
sebagai syukur yang tak berkesudahan atas segala keindahan.


Nahdamar


lunar itu menuju


padamu

bergembiralah sebab pintu surga dibuka

bersihkan jiwa dan damailah senantiasa


Tuesday, August 26, 2008

Syzygium Aromaticum


wangi cengkeh bibir kekasih

melumat malam
dari lidah bungkam

para seteru yang cemburu menyelinap
di mata-mata kuyu
mereka yang menjajakan hidupnya
pada sebuah kota

seribu nama
seribu rupa
seribu aneka cerita

menggumpal jadi lendir
di sela gigi di balik pipi
tertelan kembali menggelincir
ke perut mimpi

pagi dan siang berguguran
dalam kecupan

wangi cengkeh bibir kekasih
yang melumat malam
dari lidah bungkam

Monday, August 25, 2008

Ilusi Puisi


ia mengibaratkanku

dengan cerita tanpa kata

kira-kira
yang kan terbaca adalah
kekosongan
diiringi gema angannya sendiri

terpantul dari halaman
putih dan sepi

Saturday, August 23, 2008

Di Savana Ini Sayang


matamu memercikkan cahaya arang membara

: tatapan yang membakar semak kemungkinan

yang kau cari masih sembunyi
kenyataan berselubung teka-teki
aku berharap hatimu laut lepas
tak berbatas jelajah pantai-pantai puas

air mata terpilin doa membumbung
menggulung awan-awan berjatuhan deras
di lahan-lahan cadas
mimpi yang keras

pada sayap angin kusisipkan puisi
bagi telinga ilahi
agar dijawabnya suatu hari nanti
dengan mahkota di kepalamu yang api
di pikiranmu yang sembrani
seharum melati
seindah melodi

Y, 180808

Wednesday, August 20, 2008

Timur Lagu


kepik kepik lampu matamu

redup aku waktu tik tik
hujan tirainya sembilu
apa itu namamu di langit
langit hariku

na nana na nana
senyummu payung hijau
tubuh kataku

basah berdesah
ah ah
ah

Tuesday, August 19, 2008

Erang


sekujur ladang yang sakit

mememarkan tanam mencuat memohon
pulangnya kewarasan pohon
"kami minta hujan buat menyembuhkan"

kemarau kejam, retaknya keteguhan
tapi kami bertahan, tapi kami berharapan


Kami Mengail


kami mengail

di sungaimu yang kikir
ikan-ikan membuat kami
merasa kerdil
bagai kerikil

kami mengail
di musim zikir
arus yang mengajak kami
terus mengalir
meski tergelincir

kami mengail
dari yang satir
umpan kami seperti belati
membelah air
menikam pikir

Tuesday, August 12, 2008

Tegun



"Menangiskah ia?"
Malam beringsut ke langit paling sudut.

Mata sembab, wajah tak cerah,
pelupuk lembab, alis yang lelah

"Betapa aku ingin pergi"

Mereka tak pernah mengerti,
"Aku tak mau lagi di sini"

Pagi menjemputku berkali-kali
Sore mengingatkanku betapa sepi
Tak ada apa-apa yang berarti

Waktu hilang nyawa.

Bakar Menyala


ditorehkannya tinta marah kami pada kertas-kertas harap

sebelum dilemparkannya kepada api ratap
yang melalap dengan lahap catatan kami yang meluap
sampai lidahnya berkilat-kilat panas menyengat

jelaga lembutnya mengonggok di mata kami
menghitam bola dahsyat memanggang
sesiapa yang menantang tatapan ini

Monday, August 11, 2008

Nyanyi Ulu Hati


kekasih berjubah bunga, datanglah


hari murung dirundung sakit
matahari pergi dingin menjerit
telapak kering berpasir
gersang yang desir

hari menua jauh bertempuh
biru haru ungu jantung keluh
benak memandang matanya linang
ke dekapan remang

danau semedi, letakkan puas diri
pada sunyi tubuh jerami rapi

pintu waktu, gua rongga, angin lega

beliung rasa melarung angkara

hari warna layar jejaka
tualang tak mau sia
dari gunung tanpa nama ke bebatu samudra
kaki tangan anak kembara

duhai kekasih berjubah bunga bagilah kelopakmu sebilah
harumkan, berbelaslah pada doa


Friday, August 8, 2008

Mendengar Debar


Jalan, kami akan menuju,
kami akan menuju pada kesempatan
kesempatan idaman, ranah menunggu.

Kami telah melarung rindu
melautkan haru menembus jauh biru
singkirkan takut padamkan ragu.

Seperti salju turun di musim semi,
keajaiban bukanlah kejutan
tapi pergantian nada bagi dendang
langkah-langkah biasa sebelumnya.

Jalan, kami akan menuju,
serempak kaki tangan mata hati
segenap jiwa bergerak bersama
menempuh peta benderang cahaya.

Di sana, gembira kami reguk
yang terdamba, memenuhi rongga-
rongga yang telah lama menganga
untuk kami bawa pulang dengan sukacita,
dengan bintang dada memancar dari dalamnya.