Friday, September 19, 2008
Ma kan
sepanci minyak di bawah gelendong telur-telur,
gudeg nalaj olos menjawab keroncongan malam
yang kelelahan sehabis meraungkan hujan
waktu. kita berebut seperti anak kecil yang ketakutan
jumlah kelerengnya berkurang, atau baju spiderman baru
lengkap dengan sayap dan penutup kepala bergambar
jaring laba-laba yang enggan dilepas begitu terpasang di badan
satu suap menit berarti emas bagi perut intelektual
penuh gas mimpi dan gelora menyala
dari sanan wetan hingga amsterdam
kerupuk kulit yang renyah mengingatkan kemiskinan
di tiap gigitan. tentang daging daur ulang dan laparnya pengetahuan
wilayah itu bernama air kuning, ada semacam hutan
di jalan berkelok menanjak menuju ke sana.
caranya bercerita membuat dahi seperti monitor kabur
dan antena yang selalu kalah oleh kejamnya cuaca
kakakku adikmu kita banyak serupa kisahnya.
salah satunya baju lungsuran penuh sejarah kenakalan
yang masih saja melompat-lompat dalam kenangan
digigit ular, tertusuk paku, mencari siput, terjerembab
dengan sepeda ke dalam sawah,
dikejar tawon, main sembunyi di bawah temaram bulan
ketika besar memilih jadi teman atau pacar
sesulit menebak isi durian tanpa boleh membuka sedikit
untuk merasakan sengatan baunya
suatu drama siang di New Jersey, a stupid lover boy
membenamkan kepalanya di tong sampah bermil-mil jauhnya
dari rumahnya sendiri untuk menangisi kebodohannya.
cinta yang menggeretnya ke belahan benua-benua rasa
untuk apa bicara sepuluh tahun kedepan sedang saat ini
tak mampu memutuskan persoalan hati
setelah menjelajah pantai selatan tempat suku sasak
lalu duduk dalam sebuah kafe remang, menenggak bir
sambil menyerap suara kurang merdu
penyanyi orgen tunggal melantunkan lagu pop yang didangdutkan,
apakah yang kau pikirkan?
bangku bambu itu mencatat ratapanmu,
ratapanku yang kita torehkan setelah jam
berdentang pukul dua belas malam
menguburkan dendam, uap panas tak berwarna
yang mengepul dari kepala
'angin-angin dulu ya sayang'
kepala pusing tergeletak
diranjang biri-biri
ini hikmah yang harus disyukuri
setelah kenyang menjelang dini hari
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Lapar
ReplyDeleteSampailah kita ke titik lapar.
Tanpa minyak, kau terhenyak.
Dengan sedikit garam, kita
hitung setiap denyut dalam
diam.
Baiknya kita piringkan diri,
agar tersaji sebentuk nasi,
sepotong roti, atau kisah
sebongkah batu dalam panci.
Hingga pada hari-hari seperti
saat menunggu berbuka, kita
bersama kuburkan malu, ragu
dan seribu sabar yang tersapu.
2008