Wednesday, February 27, 2008

Orang-orang Yang Pergi


Pesanmu kuterima ketika terdengar suara pesawat
menderu di atas ruangku.
Sewaktu menoleh spontan, di luar jendela yang kulihat hanya hujan.

Kembali ke layar kata, kubaca bahwa ayahmu telah tiada.
Kuulang baris-barisnya, lalu menerawang lagi ke luar jendela.

Seperti memastikan bahwa hujan dan berita kematian
adalah kebetulan yang terjadi bersamaan.

Tiba-tiba aku merasa kau menjelma kanak-kanakku,
berdiri mematung di ujung peti jasad ayahku,
tak tahu apakah ini rasa sedih atau bingung.

Aku tak bertanya-tanya kenapa dan bagaimana kemudian.
Yang kuingat hanya saat itu udara terasa berat
menyiksa hening yang lewat.

Juga wajah-wajah, salaman, pelukan, ucapan-ucapan,
senyum yang dipaksakan, tatap tak terjemahkan,
pandangan iba memelas yang asing.

Bunga-bunga berdatangan siap ditaburkan,
semacam duka untuk diluruhkan.

Waktu itu aku tak menangis sebab takut ayah terbangun
dari tidurnya yang nyaman.

Aku tahu dari baris-baris tulisanmu kau sudah baik-baik saja
dan tak sudi berpanjang kata padaku
tentang duka yang tak kupahami.

Namun aku mau kau tahu, aku peduli tentang orang-orang yang pergi.
Yang tak bisa lagi kita dekap hangat tubuhnya dan tak akan datang lagi.

Tiba-tiba telepon berdering, membuatku sepintas melihat kabut tebal
mengaburkan kaca jendela. Bukan suaramu tentu saja,
kita toh tak pernah berjumpa selain lewat kata.

Pesanmu kubalas sesudahnya. Melanjutkan percakapan riang kita tentang kota-kota.
Kudengar di luar hujan semakin deras saja. Kali ini disertai guntur menggetarkan kaca-kaca.

Yogya 260208

No comments:

Post a Comment