Wednesday, January 2, 2008
Menuju
: melon love
Jalan menanjak, tanpa cahaya. Yang kuingat wajah kita basah. Angin dari utara turun melesak ke dada. Kau di dekapku, gelap. Yang kurasa bukan takut tapi sukacita yang sendu. Kau bertanya apa aku baik-baik saja. Mataku menerobos hitam remang. Bayang-bayang pohon, jalanan, hilang muncul di antara kabut. Sepertinya kita melihat satu dua kerlip lentera. Jauh di atas sana. Aku mulai berceloteh tentang harapan. Gigil telingamu mendengarkan. Yang kau tanyakan justru apa yang berubah, yang menyenangkan. Yang tentang kebersamaan. Ingin kukecup bibir dinginmu, waktu itu.
Lalu kita bertemu terang. Di hangatnya yang nyaman kau bilang kita tak usah pulang. Lagipula, kau rumahku, kemana lagi kumesti menuju. Yang kuingat matamu berair menatapku langsung ke jantung, merengkuh degupnya sedekat seerat yang kau bisa. Ada nyanyian di sana. Tubuhmu terayun, mengalun di iramanya. Satu ransel penuh rencana. Mulai dari naik kereta api ke Skotlandia hingga menghirup udara Canberra. Walau lidah kita belum bisa split seperti mereka, aku percaya kau tetap gagah melangkah ke sana.
Ada gerimis dan embun tipis berbaris turun satu-satu dari langit yang malas. Menggeliat, berliur mimpi dan janji yang musti ditepati. Ayo bergegas, sebelum semua terasa begitu deras.
2 Januari 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment