Sunday, November 30, 2008
cup !
naskah yang mondar-mandir di bibirmu
memikatku
sudah kuabadikan lewat tatapan
lewat ingatan, tapi ingin kukecup
cup! sampai belepotan naskahmu
di bibirku
dan rasanya terkenang-kenang
di dadaku
Thursday, November 27, 2008
Bahumu
bahumu yang diam, hendak kuajak bercakap
tentang puisi yang tersesat di antara gunung dan pantai
berdiri gemetar sendiri kehilangan jalan pulang dengan
kaki telanjang kelelahan tapi matanya nyalang menatap
kejauhan (seperti bahumu yang memendam beban dengan
tabah tanpa kenal lelah)
yang lewat di belakang ayunmu ke depan,
juga menjaga mimpi-mimpi yang tidur bersama puisi-puisi
yang kukubur dan selalu ingin kujenguk setiap kali kupeluk
kau ke dalam lengan-lenganku yang rindu
lalu merebahkan kepalaku
sembari mengecup ranum harum tengkukmu
D a w a i
jatuh, jatuhlah ke dalam mimpi
denting ini dihantar oleh bayu
yang terpantul dari pucuk dedaun bambu
melayang syairnya ke anak-anak rambut ikalmu
yang mengikat kuat akar harap di balik kelopak pejam itu
jatuh, jatuhlah ke dalam sepi
sepi yang jauh dibawa pergi
bersama getar dawai
merebahkan kalbumu
perlahan tapi pasti
Wednesday, November 26, 2008
kau tahu,
selalu pintuku terbuka
bahkan sering terlewat deritnya
oleh telingamu yang terburu-buru
setiap kau berlalu
tak pernah aku menguncinya
meski kau mengendap juga lewat jendela
dan menyurukkan mimpi-mimpimu
tanpa suara
Tuesday, November 25, 2008
Membaca Menulis Memakna
Di dalam tiap kalimat sederhana
aku terpekur lama
menatap huruf menjadi kata
menjadi aneka makna
seperti gambar di layar mata.
Kalimatnya bermacam rupa
tapi aku tak bosan ulang menambah baca
sampai bertebaran ke luar kepala.
Sampai aku lalu mencari-cari kembaran rasa
untuk kusandingkan sedemikian pula
sehingga aku punya kalimat yang baru
yang mengikuti lekuk gaung kalimatnya
dengan makna yang tidak sama.
Tapi kaki akalku ingin melangkah
lebih jauh lagi meninggalkan
gaung yang lekuknya kuikuti
dari kalimat sederhana tadi.
Maka dengan senang hati
kalimatku berjalan dengan caranya sendiri
kata-kata mencari pasangannya sendiri
menjadi kalimat yang baru sama sekali
yang meninggalkan jejak makna
di benakku yang pasrah menunggu
akan memakna apa
kalimat-kalimat itu
nantinya.
Kata Koma Jeda : Dari Kopi Sampai Titik
kopi, jazz, hujan, puisi, bunga, berdansa, benderang, tingkap,
melodi, peta, kebun, kotak, tengok, gelang, lampu, genting,
laut, kertas, ikan, gelas, cemara, roti, gitar, arloji, tahun,
fantasi, hitam, pesan, sepatu, lem, sawah, mood,
kalender, pigura, tangga, dalam, surat, tas,
wajah, pena, siul, pindah, foto, bermain,
asik, mama, cinta, musik, rumput,
guruh, telinga, mulai, draft,
jeda, jeda, jeda, jeda,
jeda, jeda, jeda,
jeda, jeda,
titik.
Monday, November 24, 2008
Di Kamar
Bersama kepulan asap
Ia melayangkan kekosongan
Terhembus dari dalam dadanya sendiri
*habis baca
http://thetruthaboutjakarta.multiply.com/journal/item/322
Bagi Hidup Yang Sebelumnya Begitu Biasa
ia adalah teman main segala musim
setiap musim angin
kesedihan kami gulung menjadi bola
lalu kami tendang setinggi-tingginya
ke angkasa agar melebur di mega-mega
kemudian turun bertubi-tubi sebagai hujan
yang membasahi kami dengan tawa
dan rasa segar yang membasuh
semua lara hingga mengering lupa
waktu lain ia menjadi selimut tebal musim salju
ketika air mata membeku menjadi es batu
di wajah yang hampir kaku biru
ia membuat perapian di goa benak
lalu menambah nyala hangatnya
dengan menarikan dongeng seribusatu malam
di bayangan dinding-dinding yang tadinya dingin
ia juga bintang utara
selalu menjadi tanda
meski malam teramat gulita
dan kaki kehilangan mata
ia segalanya
bagi hidup yang sebelumnya
begitu biasa
Friday, November 21, 2008
Reflection
ia memilih menyerahkan ingatannya kepada angin
tetapi angin terlalu cepat bekelebat
sampai ke celah rongga di bawah akar
kenangannya yang luas menjalar sampai jauh
melewati ujung-ujung nalar penghabisan
dan akhirnya
ia tetap saja menatap nanar
pada bayangannya sendiri yang selalu terlihat
lebih muda jika ia sedang gembira atau sebaliknya
lebih tua jika ia dirundung gulana tentang apa saja
dan karenanya ia tidak pernah percaya pada
ia yang sedang memperhatikan dirinya dari dalam kaca
yang mungkin tak punya ingatan karena ia hanya pantulan
dari tubuhnya yang terus-menerus menggugurkan dan
kehilangan kenangan yang semakin hanya menjadi
bayang-bayang
yang barangkali memang sudah terlupakan
Thursday, November 20, 2008
Lirih
lirih sendu nyanyian itu menyayat serat-serat ingatan
aku terkenang ibu
: karang kokoh di pantai panjang
aku terkenang ayah
: ngarai hijau membentang
selalu tentang kasih dan rasa rindu pada kampung halaman
pada yang maha tahu dan maha penyayang
lirih sendu itu mendekam di kalbu
ingatanku
Yogya, Nov 17
Love Machine
: elle
tembakkanlah peluru rindumu ke purnama di mata nun itu
meski cuma membayang, meski rasamu jauh melayang
gairahmu gelombang laut penantian
bergulunglah
bergemuruhlah
meski pantaimu diam sendiri
meski deburmu menghantam dinding hati sunyi
lautan itu jarak memabukkan
seperti kau yang terus mengibarkan
namanya di layar perahumu yang setia
tembakkanlah peluru rindumu ke purnama di mata nun itu
meski cuma membayang, meski rasamu jauh melayang
Monday, November 17, 2008
Dari Lima Kata Tentangmu ke Kita
: buku, waktu, kuning, kopi, film
wajahmu terbenam di halaman buku
matamu memantulkan huruf-huruf
yang kau lewati satu demi satu
waktu adalah nafas,
menjadi sebab engahmu
menjadi patok-patok perjalananmu
menjadi yang berkejaran denganmu
dan kuning adalah warna yang setia
bagi perjalanan kita. yang menjaga matahari
mewarnai senja, menyegarkan putik bunga,
setiap pagi yang bijaksana
kita saling mengirimkan pesan
lewat udara, lewat aroma kopi
dari meja ke meja
seperti potongan film
aku ingin menyimpan
segala adegan yang bahagia
tentang kita
Jalanmu Yang Gerah
Memang sajakku jadi terhenti, oleh air mata hari
yang telah datang pagi-pagi sekali.
Sebuah gedoran pada pintu kamar nistamu,
membuyarkan mimpi aksara di ambang mata.
Kau, yang menikamkan dosa ke tubuh yang kau rakusi
menyeluruh.
Memang jejakmu teramat tebal, mudah dikenali
ke zaman mana kau sembunyi, api neraka menjalar
membuntuti. Catatanmu hanya sampah, dan berhati-hatilah,
jalanmu semakin tak terarah, mengabur oleh debu sejarah
yang kau lewati dengan serakah. Membuatku gerah.
Wednesday, November 12, 2008
Di Dadamu Ada Jendela
: nm
di dadamu ada jendela
tempat aku bisa melongokkan kepala
melihat dunia
di luar sana
angin yang membelai-belai wajahku
adalah harum aroma tubuhmu
yang membuatku selalu digulung rindu
aku mendengar degup
semacam geleduk suara kapal-kapal kayu
yang datang dari kejauhan biru
merapat
merapat mereka
di dermaga tenang
dekat jendela
tempat kulepaskan pandanganku tentang
segala lara
kapal-kapal kayu itu
membawa cerita
untuk kita dengar
sebelum lelap
saat malam tiba
saat jendelamu
tertutup hangat
dan aku berbaring lega
di balik lembut tirainya
Thursday, November 6, 2008
Sesekali
di jendela basah kita mengenang musim
yang mengugurkan haru biru ketika waktu
mengaburkan angan bersama angin
yang beterbangan di sekeliling
pikiran kita tertumbu pada alasan
mengapa seluruh hidup tampak seperti
sekotak kutipan yang diputar sedemikian rupa
menjadi baris-baris setapak yang fana
Pada Mendung Kita Mengadu
sepatumu masih basah
sisa hujan dan tetes-tetes air yang jatuh
dari pelepah besar pohon di tepi jalan itu
mencatat ketergesaanmu
suara katak dan geram guntur di langit kelabu
seperti beradu menderu-derukan gemuruh
melatari hasrat yang peluh
kau kita aku
anginlah gerakmu
gerimis nyanyianku
pada mendung kita mengadu
segala sendu
Wednesday, November 5, 2008
Hujan
Hujan menyihirku dengan tabuhan dendang tak beraturan,
membawaku pada sebuah rindang yang basah,
sebuah taman penuh kejutan. Penuh tantangan.
Hujan membuatku merasa bersayap, terurai panjang,
menetes dari setiap gerakan. Seperti benang-benang bening,
air yang menggelinding, di sekujur jiwaku yang siap terbang.
Siap berpetualang.
Hujan mendatangkan lamunan panjang tentang kesenangan,
tentang sendu yang menggairahkan dan rindunya kehangatan.
Tentang banyak tentang.
Tuesday, November 4, 2008
Meretih
aku mencatat air mata menetesi ranjangmu yang pendiam
sehabis kau gembok pintu dan memadamkan lampu
agar dukamu sempurna dalam gelap semata
ketika derik roda dan seretan langkah malam
menjadi latar belakang sayup-sayup tangisanmu pelan
maka bagaimana kulukiskan kesedihan
jika warna yang kau beri hanya hitam
sesudah bangunan mimpi yang terdiri dari balok-balok doa itu
terguncang oleh dentuman bongkah aturan yang berjatuhan
menimpa tanah harapan dengan bunyi yang melesak ke dasar dada
tapi suaraku tertahan hujan dari balik kaca jendela
kala kulihat bayanganmu mengendap-endap di dinding ingatanku
pada sebuah musim yang penuh guguran daun-daun waktu
betapa ingin kurengkuh kau selalu ke dalam pelukku
sejak saat itu
Monday, November 3, 2008
Ney
mimpi, bukankah seperti hidup?
yang menyusup bagai semut
waktu kita meringkuk dibalik selimut
raung igaumu membawaku pada macetnya kota.
suara klakson tak berirama
dan wajah merana
bertopeng tawa
tapi balon-balon berwarna
angan mereka, beterbangan ke angkasa
meninggalkan kepala, meninggalkan kota
dan kita berkelana
mencatat jejak-jejak
sajak-sajaknya
* meletus bersama balon hitam (http://blackuniverse.multiply.com/journal/item/388/ada_balon_meletus)
Subscribe to:
Posts (Atom)