Friday, September 26, 2008
Samadhi
di antara arca puisi
kami mematung, membiarkan asap wangi pikiran
berhembus keluar dari pancaran aksara
sampai kantung usia penuh berbunga
kami harus terus menangkap sasmita
melihat yang tak terbaca
mendapat yang tak tertangkap
mantra-mantra makna
diawang sihir kata
seperti meramu sesaji ilusi
supaya api rasa terus membara
kami
bersamadhi tiada henti
mencari petuah
pada lekak-lekuk sunyi
arca puisi
Thursday, September 25, 2008
Realm
Purnama siang hari di mata yang api
menghunuskan dingin ke jantung sepi
Ladang-ladang mencumbu hujan
dalam mimpi kemarau hati
Kerikil tajam dalam telapak bukan nyeri
tapi tanda gelisah yang darah
Cuma malam dan rahasianya
mengental pekat di gelap kepala
Pada segala yang fana tak ada raja
karena jelatalah kita di semesta raya
Tuesday, September 23, 2008
Perut*
Aku tak pernah mengeluh.
Patuh, pada apapun
yang kau suguh.
Gema raungku yang kau dengar
adalah denyut syukur tentang
rinduku pada berkah-berkahmu.
Aku haus akan yang kudus
tapi mustahil mengelak akibat
dari sampah yang kau namai lezat.
Jadi siapa yang rakus
ketika liur tersihir mata,
bunyi, aroma dan ingatan tentang rasa.
Aku cuma penggiling,
pemusnah segala yang kau ingin cerna
oleh pesta pora indera.
Aku adalah persinggahan lapar dahaga
pengantar yang setia
jalan yang tak pernah menaruh curiga
pada hasratmu yang riba.
* adalah respon atas sajak Lapar-nya om Dedi TR (toko-sepatu.blogspot.com)
Friday, September 19, 2008
Dalam Pejam
ia ingat berdansa
jemari digenggam telapak wangi cendana
are you lonesome tonite?
berputar pelan
lampu mata meredup
nyaman
terayun di perahu tidur
nahkodanya yang gagah
ia baringkan lapisan lelah
membelainya sebagai dongeng
happy ever after
semua lega
linang bening itu beralasan
kanak-kanak di jiwanya
rindukan buaian
bukan berita sedih, pupus harapan
bilur-bilur hidup yang tak sempurna disembuhkan
cast me gently into morning
for the nite has been unkind
seperti ingin mereguk kembali
tatapan belia di atas ranjang
setelah pagi menghapus penat sepanjang malam
dan jiwa bersinar tanpa sepercik beban
Akhirnya Leleh Juga Oleh Cendekia
apa yang kami bisa
selain membuka telapak tangan
pada bibir merah bungkam
: kebenaran
ini bukan kesalahan
tapi pagar yang kau tempatkan
secara keliru pada yang kami namai
: pintu
kaki-kaki kami menuju matahari
maka sebagai hamparan pengantar
engkau jalan utama nan luas
: berjasa
kami tahu engkau hanya gugup
menempatkan diri dengan patut
bekerjalah sama
: seterusnya
lalu terang terik itu karena kau jualah sinar-sinarnya!
Ma kan
sepanci minyak di bawah gelendong telur-telur,
gudeg nalaj olos menjawab keroncongan malam
yang kelelahan sehabis meraungkan hujan
waktu. kita berebut seperti anak kecil yang ketakutan
jumlah kelerengnya berkurang, atau baju spiderman baru
lengkap dengan sayap dan penutup kepala bergambar
jaring laba-laba yang enggan dilepas begitu terpasang di badan
satu suap menit berarti emas bagi perut intelektual
penuh gas mimpi dan gelora menyala
dari sanan wetan hingga amsterdam
kerupuk kulit yang renyah mengingatkan kemiskinan
di tiap gigitan. tentang daging daur ulang dan laparnya pengetahuan
wilayah itu bernama air kuning, ada semacam hutan
di jalan berkelok menanjak menuju ke sana.
caranya bercerita membuat dahi seperti monitor kabur
dan antena yang selalu kalah oleh kejamnya cuaca
kakakku adikmu kita banyak serupa kisahnya.
salah satunya baju lungsuran penuh sejarah kenakalan
yang masih saja melompat-lompat dalam kenangan
digigit ular, tertusuk paku, mencari siput, terjerembab
dengan sepeda ke dalam sawah,
dikejar tawon, main sembunyi di bawah temaram bulan
ketika besar memilih jadi teman atau pacar
sesulit menebak isi durian tanpa boleh membuka sedikit
untuk merasakan sengatan baunya
suatu drama siang di New Jersey, a stupid lover boy
membenamkan kepalanya di tong sampah bermil-mil jauhnya
dari rumahnya sendiri untuk menangisi kebodohannya.
cinta yang menggeretnya ke belahan benua-benua rasa
untuk apa bicara sepuluh tahun kedepan sedang saat ini
tak mampu memutuskan persoalan hati
setelah menjelajah pantai selatan tempat suku sasak
lalu duduk dalam sebuah kafe remang, menenggak bir
sambil menyerap suara kurang merdu
penyanyi orgen tunggal melantunkan lagu pop yang didangdutkan,
apakah yang kau pikirkan?
bangku bambu itu mencatat ratapanmu,
ratapanku yang kita torehkan setelah jam
berdentang pukul dua belas malam
menguburkan dendam, uap panas tak berwarna
yang mengepul dari kepala
'angin-angin dulu ya sayang'
kepala pusing tergeletak
diranjang biri-biri
ini hikmah yang harus disyukuri
setelah kenyang menjelang dini hari
Tuesday, September 16, 2008
Telepon di Sore Hujan
lalu hening. sesudah bye-bye dan tombol 'off' ditekan
dan mata terpaku pada segala yang basah di luar rumah
sambil mengejar denging percakapan
yang tertinggal di kuping
malam menjelang ketika pesannya datang
menebalkan rindu yang bertumpuk di alas dada
dengan kalimat akhir yang selalu sama -
aku cinta padamu, i love you
Natal dan Ramadhan
Natal pernah bertemu Ramadhan
pada suatu waktu sebelum tahun baru
mereka bertukar pengalaman
tentang puasa dan kelahiran
tentang malam berbintang
tentang dunia dan kedamaian
Ramadhan tinggal sebentar lalu berpamitan
karena harus mengikuti perjalanan bulan, ujarnya
Natal mengantarnya ke batas tanggal
dan berkata bahwa ia takkan kemana-mana
sebab matahari telah menetapkan tempatnya berada
mereka berpisah dan saling mengenang
mereka tahu setelah masa yang panjang
Natal akan bertemu Ramadhan
pada suatu waktu sebelum tahun baru
Suatu Malam
denting gitar
di penjuru ruangan
membuai perasaan
melayang ringan
"bawa aku pergi"
lantun sang penyanyi
sedang aku sibuk
dengan puisi
sampai lagunya selesai
aku masih terpaku
oleh kata-kata
yang kutulis sendiri
Friday, September 12, 2008
Ofelia
jasadnya ia tinggalkan begitu saja
di tepi sumur lalu ruhnya
merambat masuk ke dalam lewat
tangga-tangga berlumut seperti
gigi melingkar di sepanjang dindingnya
pohon tua dengan gelendung akar bak
tangan-tangan yang siap
mencakar itu tampak semakin
berkuasa menyeramkan
daunnya yang hanya sedikit terlihat sibuk
menggigil atau mungkin merinding atas
kengerian yang mencekam tepi
sumur dengan sebentuk tubuh gadis kecil di
bibirnya bagai sedang tidur tanpa dengkur
mungkin aku benar-benar seorang
puteri di negeri jauh bernama impi
dan di atas sana pada suatu hari
seseorang akan mengingatku
dengan kesedihan yang wajar
tanpa obral tangis menggelegar
Thursday, September 11, 2008
Macames Inori
aku tak mencemaskan sepi
tapi keramaian iri padaku
aku tak tahu seperti apa usai
sebab mulai meninggalkan henti
aku mengaduk pikiran kosongnya
ia muntah hampa kemana-mana
aku melesat secepat cahaya
dalam gelap ia meratap lambat
ia meminta sedekah perhatian
aku menyumbangkan diam
Friday, September 5, 2008
Empat Bait Kemudian
I. penghujung tahun menunggu di pintu gembira
tabungan keringat yang kita teteskan penuh berbunga
kemarin mendung itu menghujankan harapanmu
aku terpekur di tanah basah, membilas serapah
II. memang, takutku beringsut ke batas kuduk meremang
kau pula yang menyirnakannya dengan tenang
muluskah jalan ini meluncurkan mimpi?
mata mesti berjaga menyimak madah rambunya
III. hidup yang adalah cerita pendek berkepanjangan
selalu saja jejak berlubang kita menumbuhkan benih
kenangan yang rimbun, atau gersang sama sekali
sehingga sulit untuk kita temukan lagi
lV. aku bermohon perisai itu selalu ada
seperti dadamu yang baja
sedang senjataku hanya doa
kutembakkan ke mega-mega menggerimiskan lega
Monday, September 1, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)