Tuesday, November 20, 2007

Suara Sunyi


Tak ada musik. Sunyi. Meski suara mesin ketik menggema sampai ke lantai dua puluh tiga dan gumam yang dibawa angin dari depan selasar merayap seperti bunyi gitar sumbang mendengking pelan di ambang hari. Kau meracau di catatan harianmu, ketakutan pada waktu dan kepalamu yang sesak oleh cemburu pada banyak bangsa. Tak ada musik. Mesin fotokopi melenguh seperti sapi bicara sendiri di padang rumput di Sumba. Profesimu sebagai pengagum rahasia nyaris tamat di bibir benci mereka-meraka yang tak pernah kau anggap sahabat.



Obsesi. Jika sunyi seperti ini betapa kau ingin mandi hujan telanjang di tengah lapangan bola. Bola matanya tentu saja. Dia yang tidak melihatmu dalam seribu topeng. Dia yang langsung menikam kedirianmu dengan satu saja kerlingan. Ah, seandainya tak pakai kartu pengenal, susah payah lah kau lacak si mata tajam itu ke google, ke yellow pages, ke bagian kepegawaian, ke halte bus, ke ibu kantin. Tak ada musik. Apa artinya kalimat-kalimat indah kau bentangkan yang hanya berujung dengan kepada ... (titik tiga)


Sunyi. Pernahkah kau mendengar orkestra sungai? Telingamu menerabas bunyi orang-orang yang antri. Kita semua punya keperluan, diperlukan, dan memerlukan. Kau mencari lagumu. Sesaat sebelum hujan turun engkau telah berjanji kepada dirimu sendiri bahwa kau takkan meracau lagi kecuali nyanyian yang kau tunggu itu datang mengecup mesra bibirmu. Tak ada musik. Sungai yang menangis itu mulai dengan bunyi gemericik, letup gelembung udara, lalu mengalir deras. Bukan, bukan ke laut, tapi ke ceruk-ceruk tak bernada.


tergugu: suara sunyi, musik itu sendiri

19 November 2007

No comments:

Post a Comment