suara perempuan berbisik di balik perahu fajar melaju
lautan aksara itu sehiruk-pikuk lalu lintas pikiranmu
tapi telingaku terlanjur menjelma selembar kain robek
yang melayang terdampar di tonggak kayu
dihampar angin-angin pantai yang kasar
tak sabar berkejaran dengan waktu
mereka kah sang puisi itu?
- kumpulannya satusatu terkait di jangkar labuhan
rindu anak kapal tertulis di jurnal samudera
puisi panjang tentang amis tubuh laut
juga karang tempat meluruskan punggung
seperti apa sang puisi bergema di tepian..?
seperti nyanyian yang karam di karang kesepian
cemburu pada raung amis gelora ombak gumuli peri puisi
sampai pagi bercuitan dan kecipak air jilati pantai
yang kelelahan menyimpan rahasia perasaan
sepanjang mata yang nyalang di lengkung langit
memanggang lautan arungkan perahu petualang
sesabar hasrat yang teredam pesona senja
menelan mata panasnya perlahan-lahan
sebelum malam datang
- o, larik karang di sudut sepi
terdiam menanti gelora ombak
karamkan perasaan cemburu
mungkin tak sepanjang bentang samudera
yang habis di ujung cakrawala
gelisahkah..? tidak..!
biar tenang di ujung senja
biar lupa pada panasnya
biar luruh segala ingin
sebaris saja sebelum malam mendinginkan segala
dan hujan membuyarkan semuanya
: tunggu aku di batas hari, perahu ini sejenak bersamadi
- sudah semusim ini aku menunggu
apa aku masih harus menunggu lagi
hingga entah berapa banyak hari
yang telah kuhitung,
tak berbatas...
kenapa tak biarkan saja hujan di sini..?
hujan itu bersemayam di rekah petak-petakmu
dari terbitnya pagi sampai terbenamnya malam
ia hanya datang dalam raungan
terkadang tetes-tetes diam
hey,
naiklah kesini
perahu kini melaju menembus kabut tipis
samadhi yang sudah selesai
rasanya segelas kopi wangi cukup sesuai
untuk menemani peri puisi yang telah seberangi
pergantian hari
- o, peri puisi...
aku pun ingin bercerita
tentang bagaimana tetestetes itu kerap kali
singgah di sini meski dia hanya diam
dan aroma kopimu, cukup menggodaku...
o langit,
awan yang bertahta
gumpal-gumpal putih yang rahasia
bagaimana bisa terbaca
jika pekat kopi kita menghitamkan cerita
di balik tetestetes diamnya
meski harum aromanya?
kau yang tenggelam ke dalam dirimu sendiri
kau yang menorehkan jejak kabur
di peta pelayaran di atas tubuh lautmu
kau yang terluka dan menunggu
sampai ke mana kata-kata kita
mengarung bentang samudera?
- ah, aku hampir saja lupa
lupa pada janji yang tertaut pada kata
lupa bagaimana cara aku dan kamu
membaca cerita di antara pekat hitamnya
baik kita kembali ke tubuh laut
mengumpulkan kata dalam jurnal perjalanan kapal
bawa juga sisa cerita dalam pekat hitam kopimu
karena kita akan sangat lama
bergumul dengan amis tubuh laut
tentu
kau sudah menggelar layar sajakmu yang lebar
dan aku diiringii dayung-dayung ajaibku
kita beradu
kita berderu
mana pipa perdamaianmu
ini bukan perang, tapi petualang
ayo hembuskan asap-asap magismu
puff
puff
puff
kata-kata melaju
- sebentar, biar angin datang
agar layarku terkembang
agar kau tak juga begitu lelah mendayung
karena birahi laut sedang bergejolak
aku tiupkan sangkakala
seperti inginmu, bukan perang
meski kita beradu
meski kita berseteru
kita melaju di lautan kata...
ahai,
sambil melaju santai
nyanyikan padaku sebuah lagu
tentang beranda rumahmu
dan warna fajarnya yang nila ungu
yang kudengar dari embun-embun
yang menguap sebelum lesap
saat pagi mengendap
malu-malu
merekakah puisi-puisi
yang bersembunyi
dari kejaran waktu?
- ah, itu hanya lagu sendu yang mendayu kelu
bahkan kerap kali tergugu
bawakan aku syair lugu saja
dari anak perawan di negerimu
tentang apa sajalah
yang hanya bisa kudengar dari camar-camar laut
aku rindu sentuhan penanya
pada tubuh lautku yang bergaram
sekarang aku mengerti
kitalah cucu-cucu puisi
yang lahir dari rahim sepi
melukis gambar rumah dan
negeri kita sendiri
melaut di samudera imaji
menikmati kata-kata menari
asin
amis
manis
pahit
pena maya kita mencatat semuanya
kita harus menyimpannya
di ujung sana
di tempat matahari menancapkan kaki-kakinya
di mana perahu kita harus menurunkan
jangkarnya
di sebuah tempat bernama
senja
- berdiamlah di sana
sebuah tempat bernama senja
karena aku pasti kembali setelah lelah
menghitung jengkal samudera
tak pernah lelah kaki pena kita menari di atas lembar maya
seperti kagum laut pada negerimu...
Jogja - Batavia, 230310
*Duet bersama Dwi Rastafara si Fajar Nila