Sudah lama ia tak membuka account yahoo karena sudah lama ia pindah ke gmail.
Hari itu udara tak sepanas biasanya karena gerimis datang dalam keadaan miring oleh dorongan angin transparan seperti tendangan kecil tipis-tipis.
Sebelumnya ia sibuk mencari soundtrack untuk harinya yang biasa-biasa, supaya hidupnya seperti film-film yang ia beri bintang 5 untuk musik pengiring.
The boat that rocked. Lagu yang mana ya? Semua bagus.
Ia bayangkan hidupnya terapung sendiri di tengah lautan dalam deras hujan tapi ia tau selalu ada telinga-telinga terpasang siap mendengarkannya dari daratan. Seperti telinga tuhan. Dan dadanya membengkak sesak antara geli serta kasihan pada imajinasinya sendiri.
Bajak lautnya bernama puisi. Perompak kejam berpedang kata, merampas makna, meninggalkan rasa hampa di kapal hidupnya yang membosankan karena terlalu banyak mengarungi tantangan.
Tiba-tiba ia menangis di hadapan bulk mail, spam, trash dan hal-hal nonsense lainnya. Menumpahkan semua begitu saja. Tak ada apa-apa dengan account-nya. Ia hanya merasakan kesepian yang asing, kebahagiaan yang kikir, kepedihan yang nikmat, persembunyian yang remeh. Air mata.
Jiwa kecilnya berlari cepat sekali ke masa lalu ketika ia suka menulis harapan-harapannya dalam secarik kertas lalu membakarnya dan membiarkan abunya berhamburan ke angkasa.
Waktu itu dunia tak sebesar yang ia kira, tapi cukup untuknya. Cukup untuk ia beri warna, ia rawat, ia tinggali sesukanya. Sampai dunianya diguncang oleh kejadian demi kejadian dan segala yang telah ia punya bertaburan bertambah berbenah berkemas bergegas berubah.
Some magical moments. Terlalu indah. Terlalu dekat untuk bisa ia dekap.
Ia menangisi waktu Ia menangisi sejarah Ia menangisi entah
Tapi telinga-telinga tuhan dalam imaginasinya tetap setia mendengarnya. Mungkin mengabulkan pesan di balik tangisannya.