bayangkanlah sebuah dinding putih memanjang perlahan-lahan menguning lalu muncul sulur-suluran beraneka hijau rekah kecoklatan menggeliat dibelai angin yang datang dari kejauhan
lalu kau berjalan disampingnya mendengar suara-suara yang hanya alam berkuasa membuatnya
desir, dadamu seperti dialiri jam pasir sampai terhenti di kolam jantung yang menelannya dalam detak tertahan
(telapak kakimu meraba tanah berkerikil berteriak, "berangkatlah, berangkatlah tuan!")
kau tinggalkan jantungmu beserta waktu yang tak lagi memburu
ini bukan kiamat ini seperti ibadat
kau berjalan terus memanjakan jiwa menembus lega segala tenang yang didambanya
sampai sunyi membangunkanmu di atas ranjang dalam kotak cermin bening yang tak lebih sebuah ruang diri
bunyi yang kau pilih untuk pulang kepada nyata adalah sebuah nama
dia yang berjaga diluar kelopak matamu ketika akhirnya kau buka
(jantungmu pulang, ditempatnya semula ia berdetak berseru "peluk tuan, peluk dia dan jangan lepaskan!")