Friday, February 27, 2009

Agenda


kami hendak mengunjungi pernikahan

dengan pena dan kertas kosong
untuk mencatat perubahan-perubahan
dan kejadian-kejadian
yang harus diperhatikan
dari mereka yang tak lagi disebut
sendiri


kami berharap
di dalam kertas kami nanti
lebih banyak tercatat
: kebahagiaan

Bersuka


lalu hilang senyap
segala riuh gelap
debu-debu
langit kelabu

malam kita benderang
berdatangan bintang bergelantung senang
menjadi terang buat petualang
petualangan buat mereka yang muram
di balik awan kelabu
di rerimbun isak pilu

pernah gerimis suatu ketika
membasahi jalan nasib
yang tak terbaca

sesudah reda
mata hanya melihat bunga
dan warna-warna indah milik semesta

nikmatilah
ini anugerah


Thursday, February 26, 2009

Balasan Dendang Sunyi*


sunyi hanya diam di lapis mata

sedang hatimu nyanyi dalam warna

tak perlu mencipta bunyi
batu-batu itu bercerita sendiri




*balasan untuk puisi foto om Henry C Wijaya (http://fotografer.net/lf/?id=773480&kode=23828def3cb1742fa384)

Wednesday, February 25, 2009

Hantu Raya


sesudah pertemuan hantu raya

jalanan mengembun kecewa

tak ada derit pintu menyayat hati
atau kikik tawa dari tikungan gelap
atau pekik panjang dari tingkap-tingkap
tak ada sosok putih berambut terurai tanpa wajah
berdiri menggantung di atas tanah basah

gigil jalanan menunggu segala yang ngeri
tapi yang ngeri telah pergi mungkin sembunyi
berganti perayaan murah komedi
menyiksa tawa pedih di hati

hantu-hantu kami telah berganti
menjadi badut-badut televisi

Thursday, February 12, 2009

Seperti Nyanyian


mereka bilang namamu malam

aku mendengarnya seperti nyanyian
turun dari tangga nada hitam

bersama garis-garis panjang
mengiring langkahmu jenjang
meninggalkan bayang-bayang
dalam ingatan

membuatku terkenang-kenang

Tuesday, February 10, 2009

Hermes


pelangi adalah pintu

ketika aku meluncur dari ujung
bulu matamu

pesan yang kubawa
adalah jiwamu penuh cinta
penuh doa
bagi yang berada di atas sana

sayangku,
ketika aku terburai habis
dilebur langit terbuka

kau akan mendengar
jawabannya
jauh, jauh di dalam dada

Friday, February 6, 2009

Hitam Abu-abu


meja, bangku, kaca, lantai, langit-langit,

pintu, jendela, semua di ruang itu berwarna hitam

dan abu-abu. hanya catatan di kertas putih pada

dinding yang berlubang-lubang itu

bertinta agak biru atau mungkin ungu karena cahaya

yang menyelip masuk berpadu dengan hitam abu-abu

lalu ketika membacanya kepalamu akan

seperti terisi penuh dengan aneka lampu,

menjadi terang dan anganmu asik

melayang membayangkan perasaan

dan benda-benda

juga keadaan serta kejadian-kejadian.

sebetulnya catatan itu hanya daftar sembarangan

dari sebuah hidup yang tampaknya berwarna

hitam abu-abu. tentang mimpi pintu kayu tebal

yang tertutup salju, orang-orang yang berjalan

di bawah deras hujan, kota yang terlalu rapi tapi

begitu sunyi, wajah perempuan plastik,

lelaki maya, puntung rokok di bawah ranjang,

bau alkohol dalam kamar mandi, pesta pura-pura,

rasa curiga yang tak berwarna, mata nanar yang

selalu melihat kejauhan seperti berharap

seseorang akan datang, sekaligus

remasan tangan yang menjadi kebiasaan

di luar kesadaran, ingatan akan pemakaman

meski telah bertahun silam,

langkah gontai pengangguran,

debur lautan pernikahan,

buku-buku waktu, kalender usia,

doa pengantar tidur, sepatu usang,

hutan keinginan dan juga lilin harapan

yang tak pernah padam.

catatan itu terlihat masih panjang

tetapi bagian bawahnya mulai

berwarna hitam abu-abu dan

menjadi satu dengan dinding

yang berlubang-lubang itu.