Wednesday, December 24, 2008

Orang Pertama


gadis kecil itu berjalan di antara dingin

pepohon yang menggigil dan tubuh-tubuh

tergesa orang yang berlalu-lalang sepanjang

tepi pertokoan


di angkasa

sepasang bintang mengerjapkan cahaya


rambutnya berayun seperti lonceng gereja

yang tak lelah berdentang-dentang seharian


ia melewati

patung santa yang tertawa

di bawah lampu-lampu aneka warna


tangannya menggenggam sepotong sajak sederhana

untuk Tuhan

yang akan ia baca di dalam gereja

tepat tengah malam


lalu hujan datang

seperti jarum-jarum panjang yang menikam


sajaknya basah

tintanya mengabur

tapi semangatnya tak kendur


di angkasa

awan menatapnya iba

tak mampu membendung hujannya


gadis itu terus berlari

menuju gereja


tepat tengah malam

ia membaca sajaknya

dalam gigil yang menjadi-jadi

dalam basah yang seperti tak peduli


: Tuhan, bilang pada orang tuaku

aku mau jadi orang pertama

yang mengucapkan Selamat Natal

kepada mereka di sana

Kesa


aku menangkap raungmu pada curah air yang terjun

dari mata berbatu peristiwa curam nan basah mengalir
ke dalam garis umurku seperti nadi bercabang-cabang
menjulur ke sekujur sajakku yang menelusup
ke dalam ruang tidurmu


aku menunggumu mematahkan sendiri topeng kayu
yang kau pahat dengan irama tangan sendu
penuh kenangan yang lalu kau kubur jauh-jauh
sebelum dihempas angin waktu
dan dadamu bergetar dahsyat demi menjaga hati agar kuat


aku bertarung dengan sunyi untuk memahami butiran bening
yang leleh di pipimu yang tak pernah kau tahu menjadi kekal
di hutan-hutan kesedihanku tiap kurindu padamu seperti embun
menguap tak bersyarat dan kembali setiap pagi-pagi sekali
ketika mimpiku berlari mengejar langkah matahari

di langit ingatanku kulukis wajahmu agar
kau tahu betapa ngilu ingin kunyatakan cintaku padamu

Tuesday, December 23, 2008

Sebelum Natal


dalam sunyi malam
tiga orang Majus

lirih angin menyapu
langkah kuda
hadiah persembahan
mur, wewangi, emas

diluar Betlehem
pintu-pintu tertutup

mimpi itu berjalan
dipandu bintang raksasa
menuju palungan
kandang domba
dan gembala yang berjaga-jaga


Monday, December 15, 2008

Aku Tak Mau Sia-sia


Setiap hari kutulis
barisan lirik
serpih perjalanan
yang bertaburan di halaman kenyataan
mimpi adalah bunga bermekaran
sering terabaikan

Dengan isak tertahan
dan selembar tissue waktu
selalu kuambil langit yang gugur
ke laut lepas

Aku tak mau sia-sia
hingga sekedip kelopak mata pun
atau helai rambut jatuh
dan lenguh domba di pembantaian
kuabadikan dalam catatan

Tak mau sia-sia

Barisan lirikku yang bubar
doa-doa tak terkabul
dilarung laut lepas

bebas.

Friday, December 12, 2008

kan ?



kan kau lihat sendiri

porak porandanya aku
berkejaran dengan waktu


(tapi kau tak melihatku kan?)



kan kau tahu
mana arah mata anginku
kemana aku menuju


(tapi kau tak tahu arahku kan?)




kan kau paham
betapa aku berulang bilang
apa saja yang kubutuhkan


(tapi kau tak paham butuhku kan?)






aku lihat
aku tahu
aku paham




tapi









kan ?

Dini Hari Ketika Bulan Meremang


suami menuju dermaga angkasa

dengan sayap terkuak membuka
(dini hari ketika bulan meremang)

tangis anaknya samar di telinga
seperti sajak pada sebuah kertas
tertiup angin, menggeret jalan
tak berdaya

dengan gemetar diingatnya wajah istri
kekuatan diam dari raut pasi
jarak tak teraba antara mereka
bak menatap gambar ke dalam pigura

aku (tak mau) sudah pergi
aku ingin (masih ada) di sini

Tuhan memanggilku pulang
Kalian memanggilku datang

pada cinta mana harus kuberi seluruh mati nyawa

sedang nyanyianku belum selesai
semesta menutup seluruh panggung ini
memintaku mengakhiri

meski bulan mencatat seluruh puisi hati
memendarkannya di malam-malam sepi
di atas harum rambut kalian yang kini sendiri

aku (tak mau) sudah pergi
aku ingin (masih ada) di sini

air mataku jatuh mengambang
dini hari ketika bulan meremang

Wednesday, December 10, 2008

Harus Ada


harus ada yang tabah

agar air mata, hela nafas, derik ranjang gelisah,
rasa yang mengapung di pelupuk kalbu, menjelma pilar baja
bagi bangunan hati yang terguncang badai


harus ada yang tak peduli
agar kebal terhadap sakit diri yang menawar batas
antara ditinggalkan dan meninggalkan


harus ada kah?

Tuesday, December 9, 2008

Friday, December 5, 2008

Yang Tinggal Adalah Nyata


Tanah melahirkan pepohonan

akar mengikat kenangan
tentang siang malam di wajah kayu

Pada pintu gereja yang terbuka
kuserakkan gemuruh dadaku
dentang lonceng
asap lilin yang tertiup
menghembuskan doa
ke entahmana

Di kaki salib
kata-kata hilang makna
cuma desis
dan gerimis
air mata

kesedihan yang lalu
biarlah jadi milik masa itu

Dedaun yang gugur di kursi-kursi
seperti mengerti
seperti mengisi
jeda sepi

Mungkin juga disana
ada telinga yang setia
menampung segala
suara aneka rupa

Yang tinggal adalah nyata
yang harus dijalani
sebagaimana biasa

Thursday, December 4, 2008

Sendiri di Tepi Negeri


waktu terus menua. seperti gemetar yang merambat dari dalam bumi

sampai ke ujung tiang-tiang gedung tinggi.
dan sepasang tangan harapmu
menggapai-gapai langit,
meninggalkan jejak di ujung kaki yang jinjit,

berulang-ulang sampai lenganmu mengapar telentang,
lalu tertidur
oleh kelelahan
dengan wajah menantang kekalahan.


tak ada musim tersisa. semua kau babat dengan langkah-langkah
tegap dari hening salju hingga panas ceracau.
peperangan yang telah
terlewati kini jadi batu
di candi-candi ingatanmu. menjadi sejarah yang kaku,

dipenuhi debu dan salah paham ini itu.
tapi prasasti sepak terjangmu
tetaplah terbaik
untuk dipersembahkan pada senja yang agung, yang mencatat

luka-luka kujur tubuh nan merapuh.

tak perlu melompat. matahari menggelinding
ke bawah kaki airmu yang
pernah merayap,
menjejak, berjingkat, berlari. bersama itu langit akan turun

sampai ke batas alismu,
memalamkan mimpi-mimpi silau siang bolongmu.

*kemarau*


: membaca gerah gairah yang tak pernah menyerah

hingga tetes-tetes hujan itu datang berjatuhan





*merespon sajak:
Sejarah Kemarau di Pintumu-nya Mbak Inez
(http://inez.dikara.web.id/) di bawah ini



musim kemarau tak lagi setia. dibuang-buangnya cahaya hingga
pohon-pohon mengering dan terbakar. tanah tak lagi menyisakan air bagi
sekelompok akar: benih bagi sepasang pintu yang kelak akan membingkai
batas antara kau dan aku. begitulah mereka berasal dari kehidupan
lain; penuh semak belukar dan satwa liar. kini dibawanya sejarah ke
muka pintu.

jarak tak hanya bicara soal metrikal atau waktu tempuh. ia bicara
tentang pagar yang menjaga ketat rindu yang sengit beradu takut. yang
bising serupa serendeng gelang jatuh di ruang yang begitu lengang. dan
kau berharap seseorang akan mengumpulkannya lalu memasangkannya
kembali satu demi satu di tanganmu. merapikan sambil meletakkan
jemarinya di bibirmu. mengeringkan butiran-butiran kecil yang jatuh
di pangkuan.

2008

Oleh Pejam


ia mencoba mencabut malam dari mataku

aku mencegahnya dengan menempatkan
pagar bintang di telaga hitam
yang sangat kusayang

cahaya yang jatuh di sana
adalah misteriku yang rahasia
lengkap dengan serbuk bertuah yang berguguran
dari sayap-sayap serangga bertongkat
yang hidup di rawa kelopak bunga mataku

ia mencoba mendatangkan siang
yang kusambut dengan senang tapi juga
keraguan yang menyengat pikiran
karena matahari memendarkan catatan api
dengan kobar panas yang bisa kau rasa
dari jauh sekali

tapi malam di mataku
tak kan hilang dan terus dijaga
oleh pejam